Posts Tagged ‘arca’

Kitab dan Yoga Di Balik Pembuatan Arca

Februari 19, 2009

Selama ini arca hanya dianggap sebagai karya seni, walau ada juga umat beragama tertentu yang menjadikan arca sebagai media ibadah. Namun bagi para peneliti, sekedar mengetahui nilai seni arca tidak cukup. Apalagi sekedar mengetahui nilai jual ke kolektor. Ada hal menarik lain yang harus diketahui peneliti arca: cara pembuatan.

Pembuatan arca tak hanya melibatkan batu, pahat atau benda lain, tapi tergantung juga dari sesuatu yang jauh lebih dalam. Kita menyebutnya yoga, sebuah upaya untuk selekas mungkin bertemu dengan dewa.

Kitab Upanisad menggambarkan bagaimana proses menghadirkan dewata dalam diri seniman. Seorang seniman, atau lebih tepatnya disebut silpin (seniman keagamaan), harus menyingkirkan segala pengaruh dari dunia luar yang mengganggu. Gangguan itu mengambil wujud dalam banyak bentuk, misalnya emosi, keinginan pribadi, dan pemikiran pribadi. Setelah itu ditiadakan, silpin memvisualisasikan wujud dewata dalam patokan tertentu. Caranya dengan meditasi dan mantra.

Aktivitas penting dalam yoga adalah menghadirkan dewa dalam dirinya sendiri. Konsep itu dikenal dengan akar sati, yaitu menarik konsep dewata dari alam ide ke alam nyata. Alam nyata tersebut berada dalam diri silpin, tepatnya dalam mental silpin. Alam ide sama dengan alam kedewaan yang sifatnya abstrak. Di alam itulah para dewa bersemayam dan melakukan bebagai kegiatan. Mereka setiap saat dapat dihubungi manusia.

Setelah alam kedewataan didekatkan, maka masuklah gambaran dewa tertentu atau hakikat dewa tertentu dalam diri seniman. Sang dewa kemudian bersemayam di suatu tempat dalam diri seniman yang dinamakan antar-hrdaya-akasa (ruang kosong dalam hati dengan kebersihan sempurna serta bebas dari segala gangguan). Mereka yang menjaga dewa dalam hatinya bisa bertindak seperti dewa, misalnya terbang atau berjalan di atas air.

Di dalam ruang kosong inilah terjadi pertemuan yang mesra dan menimbulkan kenikmatan antara dewa dan manusia. Pada saat itu tercapai klimaks, jnana sattva rupa, yaitu wujud dari kebenaran dan pengetahuan sejati tentang kedewaan. Hasilnya, para silpin tak akan keliru dalam berkarya sebab hakekat dewa telah ada dalam dirinya. Dewa yang dipahaminya tampak bagai bayangan yang muncul secara ajeg di dalam benak atau seperti melihat sosok dalam mimpi.

Bila proses itu terjadi maka si seniman yang juga seorang yogin telah mampu menghayati dan mengidentifikasi subjek dewa, sifat dewa, penggambaran dewa, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan dewa secara total. Identifikasi itu harus terus dipertahankan selama diperlukan ketika ia membuat arca.

Selain yoga, hal penting lainnya dalam pembuatan arca adalah ukuran. Aturan ukuran arca terdapat dalam kitab Agama. Salah satu satuan ukur dikenal dengan tala. Peran tala kurang lebih sama dengan peran sentimeter dan meter dalam kehidupan modern. Secara harfiah, tala berarti telapak tangan. Maksudnya adalah ukuran antara ujung jari tengah hingga akhir dari telapak tangan dekat pergelangan. Setiap silpin yang membuat arca harus menggunakan tangannya sendiri dalam mengukur arca. Maka kegunaan tangan bagi mereka tak hanya sebatas dalam memegang pahat. Ukuran tala ini dianggap sama dengan panjang muka mulai dari batas rambut (dahi) sampai ujung dagu. Tak percaya? Coba rentangkan telapak tangan di wajah masing-masing, pasti panjangnya sama.

Kitab Vaikhanasagama juga menyebut angula, selain tala. Angula merupakan ukuran lebar ruas atas ibu jari.Besarnya kira-kira 0,75 inchi atau sekitar seperdelapan cm. Di luar angula dan tala, ada satuan ukur lain yang lebih kecil, yaitu yava. 1 tala sama dengan 12 angula, satu angula sama dengan 8 yava.

Arca masing-masing tokoh kedewaan memiliki ukuran yang berbeda. Kitab Matsyapurana menyebutkan ukuran dasatala yang sama dengan 120 angula. Ukuran ini hanya diperbolehkan bagi arca Narayana, Rama, Narasimha, Bali, Indra, Parasurama, dan Arjuna. Ukuran Navatala yang terdiri dari 108 angula diperuntukkan bagi Raksasa, Asura, Yaksa, Apsara, dan Marudagana.

Astatala yang sama dengan 96 angula diperuntukkan bagi arca laki-laki. Saptatala yang sama dengan 72 angula diperuntukkan bagi Vetala. Pancatala yang berjumlah 60 angula diperuntukkan bagi Ganesha. Catustala yang sama dengan 48 angula diperuntukkan bagi arca Vamana (orang kerdil). Tritala yang sama dengan 36 angula dipergunakan bagi arca-arca Bhuta dan Kinnara. Dvitala atau 24 angula diperuntukkan bagi arca Kusmandha. Dan terakhir (akhirnya…!) ukuran Ekatala atau 12 angula yang diperuntukkan bagi arca Kabanda. Ppfffuuuhhh… cukup berat memang mencerna semua ukuran itu.

Namun mengetahui teknik para silpin dalam membuat arca adalah hal paling berat. Hal terbaik yang kita bisa hanyalah mengamati hasil akhir karya mereka di berbagai museum atau situs. Tahapan pengarcaan hanya dapat diduga melalui analogi dengan teknik pembuatan arca di masa sekarang yang masih dikerjakan secara tradisional. Khusunya arca batu, tanah liat, dan logam sebab bisa dipastikan jarang sekali menemukan penggarap arca modern yang membuat arcanya dari bahan-bahan aneh semisal permata dan mentega. Tertarik melakukan analogi etnografi? (Nisa)

Pulanglah Dia Si Arca Hilang

November 6, 2007

Beberapa orang mungkin menganggap topik ini usang, tapi sengaja kami angkat kembali demi membuktikan tak semua manusia yang hidup di Indonesia memiliki sifat latah yang sudah membudaya. Untuk mengetahui seberapa latahnya bangsa ini, mungkin kita bisa memundurkan ingatan beberapa tahun ke belakang, saat maraknya berita soal penemuan ‘hobbit’ yang dengan bangganya diumumkan Australia kepada dunia internasional. Seketika Indonesia kebakaran jenggot, lalu berubah marah dan gusar, sebab penemuan penting di tanah air malah diumumkan seenaknya oleh Mike Morwood dan Peter Brown dalam sebuah konferensi pers di Sydney, Australia, tanpa kehadiran peneliti Indonesia.

Malang benar nasib Indonesia. Punya lahan yang kaya artefak dan situs penting, punya peneliti sendiri yang mampu meneliti artefak-artefak tersebut, namun tak punya dana hingga terpaksa bekerja sama dengan negara lain, penyokong yang kemudian mengambil alih penelitian tersebut. Tapi hanya segitu saja, setelah media dan beberapa kelompok masyarakat puas merasa panik dan marah akan kasus tersebut, maka semuanya terlupakan.

Kasus dengan negara tetangga juga tak jauh berbeda. Ketika Malaysia sang ‘saudara serumpun’ menggunakan lagu Rasa Sayange untuk website kebudayaan mereka, serentak seluruh rakyat Indonesia marah, terutama karena setelah Rasa Sayange, ada pencurian beruntun lainnya. Internet dijadikan media ketika banyak orang menumpahkan kemarahan mereka di beberapa forum bebas maupun blog, bahkan hacker asal Indonesia sempat membajak situs tersebut. Tapi setelah itu apa?

Kembali pada kasus pencurian benda-benda purbakala di Museum Radya Pustaka yang berhasil terkuak, lingkaran setan yang sama juga kembali terulang. Pembahasan ramai dimana-mana, mengenai Hasjim, Krueger, lemahnya mental dan pengawasan para pegawai museum, sampai ketakcakapan pemerintah. Namun seiring dengan berjalannya waktu maka berita mengenai Hasjim, atau Museum Radya Pustaka-pun makin jarang ditemui.

Dimulai dari terkuaknya keberadaan arca-arca palsu di Museum Radya Pustaka tahun 2007 kemarin. Untunglah dua petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah berhasil mengendus ketidakberesan pada arca yang tersimpan di ruang belakang Radya Pustaka, September lalu. Kecurigaan itu muncul sebab arca Agastya di museum tersebut memiliki perbedaan yang sangat mencolok jika dibandingkan dengan wujud di dalam foto dokumen BP3 yang diambil pada 2001. Ternyata tak hanya satu arca yang palsu, Agastya memiliki empat ‘teman’ lain yang juga bernasib sama, yaitu Durga Mahisasura Mardini, Durga Mahisasura Mardini II, Siwa, dan Mahakala.

Terkuaknya kasus lima arca tersebut mendorong penyelidikan lebih lanjut, hingga BP3 Jawa Tengah mengumumkan ada enam benda koleksi lain yang telah hilang dan dipalsukan, yaitu dua arca perunggu, sebuah kap lampu perunggu, dua buah keramik yang salah satunya berasal dari Dinasti Ming, dan sebuah tempat buah-buahan hadiah dari Napoleon Bonaparte kepada Pakubowono X.

Jumlah tersebut memang bukanlah kerugian yang sedikit, namun tanpa bermaksud mendukung pencurian yang melanggar hukum tersebut, terpikirkan oleh kami, benarkah arca-arca tersebut dalam keadaan yang lebih baik jika berada di tangan museum dan pemerintah? Kalau beberapa museum yang sudah kami kunjungi seperti Museum Nasional dan Fatahillah, bisa dijadikan patokan bagi kualitas museum-museum di Indonesia, maka bisa dipastikan museum adalah tempat yang mengerikan bagi benda-benda bersejarah tersebut. Pasti sudah banyak yang tahu betapa arca-arca di museum dalam kondisi yang aus dan berjamur, terlihat seperti tak dirawat sama sekali. Alasannya? Klise: kurang dana dan kurang orang.

Jika demikian, mungkin saja akan lebih baik arca-arca tersebut dicuri dan dibeli oleh kolektor pribadi yang mampu merawat mereka dengan lebih baik. Pencurian benda bersejarah yang dilindungi hukum memang salah, namun menelantarkan benda tersebut adalah tindakan yang sama salahnya.

Mungkin suatu ketika, saat museum kita sudah mampu memperlakukan museum kita benda-benda koleksi mereka dengan lebih ‘manusiawi’, maka mungkin itulah saat paling pantas bagi orang Indonesia untuk mengutuk pencurian dan pejualan ilegal benda-benda cagar budaya milik negara. (Paduraksa)