Pagi itu, 14 April 2010, 1.750 anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) siaga sejak dini hari di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka bersiap ‘menertibkan’ komplek makam Habib Hassan bin Muhammad al Haddad, yang lebih sohor dengan sebutan Mbah Priok.
Tapi, ratusan massa juga berjaga-jaga di dalam kompleks makam Mbah Priok. Sebagian dari mereka merupakan jamaah ta’lim pondokan yang ada di dalam komplek makam. Sebagian lagi warga Tanjung Priok. Mereka mengaku bersiap mempertahankan makam yang mereka anggap sebagai situs bersejarah, bahkan dianggap sebagai “paku bumi” wilayah Tanjung Priok.
Seumur-umur, mungkin ini kali pertama ada suatu pembelaan mati-matian terhadap suatu situs yang dianggap bersejarah. Biasanya, situs atau benda cagar budaya selalu kalah oleh kepentingan pemodal. Sayangnya, pembelaan itu bermuara timbulnya korban jiwa.
Bisa jadi, Rusuh Koja bermula akibat sikap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, khususnya Jakarta Utara, yang tidak melakukan pendekatan budaya dalam ‘menertibkan’ kompleks makam. Janji Pemerintah yang tidak akan menggusur makam Mbah Priok dianggap santri dan warga sebagai angin lalu.
Apa pasal? Pertama, kedatangan ribuan Satpol PP dengan alat berat, membuat massa sulit percaya makam tidak akan dibongkar. Kedua, dan ini yang terpenting, ‘penertiban’ komplek makam akan menghilangkan fungsi budaya makam bagi masyarakat, yaitu budaya ziarah kubur.
Menurut ahli waris Mbah Priok, Habib Alwi al Haddad, ini yang tidak banyak diketahui masyarakat. Makam memang tidak akan dibongkar, tapi Pelindo (sebagai pihak yang mengklaim lahan Mbah Priok) membuat tiga syarat yang mematikan fungsi makam.
Pertama, ziarah hanya boleh dilakukan setahun sekali. Kedua, peziarah tidak boleh lebih dari sepuluh orang. Ketiga, ziarah harus lapor seminggu sebelumnya ke Pelindo.
Tiga syarat itulah yang membuat ahli waris dan jamaah Mbah Priok meradang. “Dzalim ini, kalau monumen, bagaimana orang mau ziarah? Siapa yang ziarah setahun sekali. Memang makam ini patung pahlawan?” kata Habib Alwi, seperti dikutip dari VIVanews.com.
Sebagai sebuah lokasi bersejarah, kompleks makam seharusnya dalam konservasinya dimaknai sebagai living monument, atau cagar budaya yang masih memiliki aktivitas hidup. Tempat ini jelas masih memiliki fungsi sosial-budaya, dengan adanya aktivitas ziarah kubur. Selain itu, rasa kepemilikan masyarakat (sense of belonging) terhadap kompleks makam juga masih ada.
Pertanyaan lain, mengapa Pemerintah tidak menjadikan kompleks makam Habib Hassan al Haddad sebagai situs cagar budaya? Padahal keberadaan makam ini didukung sumber historis (link sejarah makam: http://bit.ly/cHsP5j), bahkan secara sosiologis memiliki ahli waris, yang bisa jadi memperkuat data historis makam.
Mungkin, sengketa lahan yang berkepanjangan menjadi alasan keengganan pihak berkepentingan untuk menjadikan makam ini sebagai situs cagar budaya. Apalagi sengketa lahan itu juga melibatkan kekuasaan, dalam konteks ini adalah sengketa ahli waris dengan penguasa di masa Orde Baru.
Setelah timbul korban jiwa, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo akhirnya memutuskan bahwa makam Mbah Priok merupakan cagar budaya. Sayangnya, keputusan yang dibuat dengan mengorbankan sejumlah nyawa, puluhan kendaraan yang dibakar, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap Pemerintah. Semua akibat Rusuh Koja, Rabu kelabu itu. (bayu galih)