Archive for April, 2010

Rusuh Koja: Akibat Tanpa Pendekatan Budaya

April 19, 2010

Rusuh Koja (okezone.com)

Pagi itu, 14 April 2010, 1.750 anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) siaga sejak dini hari di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka bersiap ‘menertibkan’ komplek makam Habib Hassan bin Muhammad al Haddad, yang lebih sohor dengan sebutan Mbah Priok.

Tapi, ratusan massa juga berjaga-jaga di dalam kompleks makam Mbah Priok. Sebagian dari mereka merupakan jamaah ta’lim pondokan yang ada di dalam komplek makam. Sebagian lagi warga Tanjung Priok. Mereka mengaku bersiap mempertahankan makam yang mereka anggap sebagai situs bersejarah, bahkan dianggap sebagai “paku bumi” wilayah Tanjung Priok.

Seumur-umur, mungkin ini kali pertama ada suatu pembelaan mati-matian terhadap suatu situs yang dianggap bersejarah. Biasanya, situs atau benda cagar budaya selalu kalah oleh kepentingan pemodal. Sayangnya, pembelaan itu bermuara timbulnya korban jiwa.

Bisa jadi, Rusuh Koja bermula akibat sikap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, khususnya Jakarta Utara, yang tidak melakukan pendekatan budaya dalam ‘menertibkan’ kompleks makam. Janji Pemerintah yang tidak akan menggusur makam Mbah Priok dianggap santri dan warga sebagai angin lalu.

Apa pasal? Pertama, kedatangan ribuan Satpol PP dengan alat berat, membuat massa sulit percaya makam tidak akan dibongkar. Kedua, dan ini yang terpenting, ‘penertiban’ komplek makam akan menghilangkan fungsi budaya makam bagi masyarakat, yaitu budaya ziarah kubur.

Menurut ahli waris Mbah Priok, Habib Alwi al Haddad, ini yang tidak banyak diketahui masyarakat. Makam memang tidak akan dibongkar, tapi Pelindo (sebagai pihak yang mengklaim lahan Mbah Priok) membuat tiga syarat yang mematikan fungsi makam.

Pertama, ziarah hanya boleh dilakukan setahun sekali. Kedua, peziarah tidak boleh lebih dari sepuluh orang. Ketiga, ziarah harus lapor seminggu sebelumnya ke Pelindo.

Tiga syarat itulah yang membuat ahli waris dan jamaah Mbah Priok meradang. “Dzalim ini, kalau monumen, bagaimana orang mau ziarah? Siapa yang ziarah setahun sekali. Memang makam ini patung pahlawan?” kata Habib Alwi, seperti dikutip dari VIVanews.com.

Sebagai sebuah lokasi bersejarah, kompleks makam seharusnya dalam konservasinya dimaknai sebagai living monument, atau cagar budaya yang masih memiliki aktivitas hidup. Tempat ini jelas masih memiliki fungsi sosial-budaya, dengan adanya aktivitas ziarah kubur. Selain itu, rasa kepemilikan masyarakat (sense of belonging) terhadap kompleks makam juga masih ada.

Pertanyaan lain, mengapa Pemerintah tidak menjadikan kompleks makam Habib Hassan al Haddad sebagai situs cagar budaya? Padahal keberadaan makam ini didukung sumber historis (link sejarah makam: http://bit.ly/cHsP5j), bahkan secara sosiologis memiliki ahli waris, yang bisa jadi memperkuat data historis makam.

Mungkin, sengketa lahan yang berkepanjangan menjadi alasan keengganan pihak berkepentingan untuk menjadikan makam ini sebagai situs cagar budaya. Apalagi sengketa lahan itu juga melibatkan kekuasaan, dalam konteks ini adalah sengketa ahli waris dengan penguasa di masa Orde Baru.

Setelah timbul korban jiwa, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo akhirnya memutuskan bahwa makam Mbah Priok merupakan cagar budaya. Sayangnya, keputusan yang dibuat dengan mengorbankan sejumlah nyawa, puluhan kendaraan yang dibakar, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap Pemerintah. Semua akibat Rusuh Koja, Rabu kelabu itu. (bayu galih)

Menelusuri Awal Penjajahan di Indonesia: Pendekatan “Legal-Method Intention”

April 5, 2010

helmink.com

Apa itu “Penjajahan”?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ed.III Depdiknas Balai Pustaka hal.51 tahun 2005 “Penjajahan” mengandung arti:

1. jajah: menjajah berarti keluar-masuk suatu daerah (negeri, dsb)
2. menguasai dan memerintah suatu negeri. Belanda menjajah kita lebih kurang 350 tahun lamanya.

Sedangkan menurut The World Book of Encyclopedia vol.14/92 hlm. 384 adalah :

“Occupancy is a legal-method by which a person or nation acquires title to something that no-one else own”

To gain title to a thing by occupancy a person or nation must take possession of the thing with the intention of keeping it.

Maka pertanyaan yang muncul adalah:

Apa yang dimaksud dengan “legal-method intention“? Kapan hal tersebut mulai tercatat dalam sejarah Indonesia? Benarkah Indonesia dijajah sejak 350 tahun yang lalu?

Tidak diragukan, bahwa sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga tahun 2010 ini, maka Indonesia telah merdeka selama 64 tahun lebih beberapa bulan. Tetapi jika kita berbicara tentang kapan awal terjadinya “praktek” penjajahan di negeri kita maka akan ada beberapa data sejarah yang menarik untuk ditelisik.

KBBI (juga beberapa buku pedoman sejarah di sekolah) memberikan kisaran angka 350 tahun atau 3,5 abad sebagai masa berlangsungnya “praktek” penjajahan yang terjadi di Indonesia. Dari mana asumsi tersebut berasal? Jika kita tarik mundur,angka yang berkaitan dengan 350 tahun adalah dimulai dari tahun 1595 atau abad ke 16 (Hitung: 1945 ke 1595 = 350).

Mengapa 1595? Tahun 1595 adalah masa ketika Cornelis de Houtman bertolak dari Belanda menuju Indonesia dan tiba di Banten kurang lebih setahun setelahnya. Menurut M.C Ricklefs, pada bulan Juni 1596 Kapal-kapal De Houtman tiba di Banten di situ orang-orang Belanda  langsung terlibat konflik, baik dengan orang-orang Portugis, maupun dengan orang-orang pribumi.

Disebutkan pula De Houtman melakukan banyak penghinaan dan menyebabakan kerugian yang besar di setiap pelabuhan yang dikunjunginya. Tahun 1597 sisa-sisa ekspedisi itu kembali ke Belanda dengan membawa cukup banyak rempah-rempah. Mulailah kemudian dikenal sebagai zaman pelayaran ‘liar’ atau tidak ‘teratur’ (wilde vaart) yang ditandai dengan banyaknya perusahaan-perusaan ekspedisi belanda yang saling bersaing dan memiliki keinginan kuat (intention) terhadap rempah-rempah yang ada di Indonesia.

Pada bulan Maret 1602, Perseroan yang saling bersaing tersebut membentuk Perserikatan Maskapai Hindia Timur (VOC). Kepentingan yang bersaing itu diwakili oleh sistem majelis (kamer) untuk enam wilayah di negeri Belanda. Setiap majelis memilki sejumlah direktur yang semuanya berjumlah 17 orang yang disebut dengan Heeren XVII.

Ricklefs menambahkan bahwa personel VOC di Asia tidaklah selalu bermutu tinggi. Meskipun VOC merupakan organisasi milik Belanda tetapi sebagian personelnya bukanlah orang Belanda. Para petualang, gelandangan, penjahat, dan orang-orang yang bernasib jelak dari seluruh Eropa-lah yang mengucapkan sumpah setia. Ketidak berdayaan, ketidakjujuran, nepotisme dan alkoholisme tersebar luas di kalanagn VOC. Terjadi banyak kekejaman yang menurut pikiran modern sangat menjijikkan.

Berdasarkan ‘pengorganisasianya’ maka kita dapat menyebut 1602 sebagai awal dari “legal-method intention“. Mengapa? karena VOC mempunyai struktur/rancangan/metode yang secara legal diberikan oleh Parlemen Belanda yang salah satunya dikenal dengan hak Octroii sebagai cara untuk ‘menguasai’ Indonesia. Melalui hak tersebut, kongsi dagang yang diberi semacam hak ‘tatanegara’ dari pemerintah Belanda untuk mengatur pemerintahan di Indonesia.

Hak octroii terkenal dengan undang-undang yang merugikan rakyat; diantaranya melakukan monopoli, melakukan peperangan, membangun benteng-benteng, mengadakan perjanjian-perjanjian dan kewajiban contingenten; yaitu rakyat dipaksa menanam komoditas yang laku di pasar dunia.

Kewajiban inilah yang kemudian memancing kemarahan rakyat sehingga terjadi berbagai perlawanan. Perlawanan-perlawanan tersebut semakin memperjelas bahwa ‘praktek’ (baca: penjajahan) telah terjadi karena mereka bersinggungan dengan rakyat sebagai landowners.

Sehingga, asumsi bahwa Indonesia telah dijajah selama 350 tahun, secara de-jure,  sudah mulai terjadi pada tahun 1595. Namun secara de-facto, “legal-method intention” terjadi pada tahun 1602.

Namun, tentu saja definisi ini merupakan pendekatan untuk mengetahui awal penjajahan Belanda di Indonesia. Karena sebagian ahli sejarah tetap berpendapat, Belanda tidak menjajah Indonesia selama 350 tahun. Karena hingga awal abad 20 pun masih tetap terjadi perlawanan.

Seperti misalnya yang terjadi di Bali. Setelah peristiwa Puputan Klungkung dan “menyerahnya” Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban, baru pada 2 Oktober 1908, Bali dapat seluruhnya dikuasai Belanda. Hal yang sama terjadi di Aceh, dikabarkan Belanda baru dapat menguasai Aceh pada tahun 1908. (Rusyanti)